Cerpen ini merupakan true story saat acara Reunian Ikasmantri,85 di Painan (Part II).
Rangkaian kata" indah ,sarat makna dan sangat menggugah dari pengarangnya yang juga salah satu alumni kami saat menyentuh...
Ijin copas & share ya Nani maniezzz...
Foto" diambil dari sang fotografer Ikasmantri85 ' Ji Boy dalam 3 edisi full..ijin minta ya JiBoy..
Ijin copas & share ya Nani maniezzz...
Foto" diambil dari sang fotografer Ikasmantri85 ' Ji Boy dalam 3 edisi full..ijin minta ya JiBoy..
Sebuah Catatan Kenangan
By: Rieska Praditya Ernaningtyas
Aku diliputi keraguan hingga waktu terakhir keberangkatan diputuskan. Keinginan untuk pergi dan tidak, selalu bagai sisi mata uang yang butuh pemastian kiri atau kanan, depan atau belakang, atas atau kah bawah.
Pergi atau tidak…?
Bila aku memutuskan untuk pergi, itu pun tetap tak pasti. Di lipatan hati terkecil, selalu ada pergumulan resah yang tak kupahami. Akhirnya kukesampingkan tanggungjawab di kantor dengan ikut bersama laju mobil yang kemudian membawaku pergi menjemput kenangan yang sudah dua puluh enam tahun kutinggalkan.
Mentari pagi rata menyinari sisi jalanan perbukitan hijau yang terjal menanjak dan menurun. Di sebelah kananku sepanjang mata memandang biru laut membentang luas, di atasnya kapal-kapal besar dan perahu kecil nelayan ikut memberi warna alam, sehingga semuanya sempurna menjadi keindahan yang membuat takjub, Allah sungguh Maha Karya.
Rindang pohon besar dengan akar yang saling mengikatkan buhul dan kokoh menjembatani aliran sungai deras yang mengalir di antara bebatuan di bawahnya, menjadi saksi tangan kami yang kembali berjabatan.
Tak satu pun wajah yang kukenal, semua ukuran tubuh telah melebar. Dua puluh enam tahun ternyata membuat mata jadi tidak bisa lagi mengirimkan peta ke pikiran, untuk memunculkan sebuah nama buat disebut hingga rindu bersambut. Ragu-ragu aku menyebutkan nama.
“Riska.” Kataku sambil menerima uluran tangan lelaki berkumis dengan senyumnya yang merekah.
“Anton.” Suara itupun terasa asing di telinga, hingga sama sekali tak memunculkan sosok masa lalunya di benakku. Seorang wanita berbaju Krem dengan celana jeans, tubuhnya tak begitu gemuk mengulurkan tangan ke arah wanita lain yang berdiri menyamping di depanku.
“Mira.” Riang suaranya.
“Wati.” Sahut yang lain.
“Bimo.” Suara seorang lelaki di sekitarku menyebutkan namanya. Gaung tawa dan teriakan tanda gembira membahana di keramaian rekan-rekan masa laluku.
“Riska…! Penyanyi kita yang suaranya sangat merdu, ya?” Seruan diiringi gelak tawa datang dari lelaki bertubuh tinggi besar, kumisnya tebal dan jenggotnya keriting, ia menyeruak dari keramaian menjabat tanganku Чªπğ jadi kecil dalam genggamanya. Semua mata menatap ke arah lelaki tambun dengan penampilannya yang heboh.
Sedetik hening,
Hanya sedetik, setelah itu pecahlah tawa, teriakan penuh rasa antusias bergema. Waktu perlahan-lahan mengembalikan ingatan kami, dari senyum yang khas dari tatapan mata yang spesial, lengan sontak terkembang saling merangkul dan jabatan itu kuulangi kembali sekedar meyakinkan diri sendiri, bahwa itu memang teman-teman masa lalu.
Kata mereka aku tak banyak berubah, aku masih sama seperti dulu walau lebih gemuk, wajahku masih mudah dikenali. Sebaliknya bagiku mereka sangat berubah, begitu juga dengan sosok yang hanya berdiri saja di pojok, tak berkata dan tak tersenyum. Waktu kujabat tangannya sulit kutebak apa isi hatinya.
“Zen…! Zen kan…?”
Kujabat dan kuguncang tangannya, tapi lelaki di depanku tak bergeming, ia hanya memandang dengan ekspresi yang sulit disimpulkan maknanya. Aku menyimpan rasa tak mengerti, lalu dengan heran bercampur kecewa beranjak meninggalkannya untuk bergabung kembali dengan teman-teman Чªπğ lain.
Bagiku Zen bukan hanya sekedar sahabat dua puluh enam tahun yang lalu saja. Aku mengenalnya dari kecil. Kami tumbuh dan besar bersama-sama. Walaupun dikenal berwatak pendiam, untukku Zen tetap mempunyai cerita yang selalu bisa dibaginya. Tapi hari ini tak ada tutur kata, hanya tatapan mata, itu pun begitu datar bagai tak pernah ada aku di memori kehidupannya.
Kami tidak berlama-lama menikmati keindahan objek wisata Jembatan Akar. Setelah puas mengabadikan keindahan alam daerah pesisir itu, iring-iringan mobilpun kembali bergerak, menuju rumah salah satu rekanku Чªπğ dijadikan tempat berkumpul dan beristirahat. Masih banyak tempat yang akan kami kunjungi hingga sore menjelang, dan sebelum berangkat Erdi sang tuan rumahpun sudah menyiapkan hidangan makan siang di halaman belakang kediamannya yang luas.
Sebagai orang nomor dua di daerah itu, Rumah dinas yang ditempati Erdi lebih dari cukup menampung jumlah tamu yang hadir.
Suasana pun masih heboh dengan berbagai cerita masa lalu dan masa kini. Semua cerita tetap saja menarik buat di kisahkan kembali. Ketika aku asyik berbincang dengan beberapa rekan sekelasku dulu, Zen dari mejanya menyapa.
“Mana suaminya…?”. Pertanyaan tak beralamat itu tetap kumengerti sebagai pertanyaan yang ditujukan buatku. Aku berpaling kepadanya, sekilas kulihat ada senyum di wajah Zen, dan pandangan matanya juga seperti sudah mengenali aku kembali.
“Mana istrinya..?” Balasku dengan mulut yang juga dipenuhi senyum. Ketika itulah kulihat zen tertawa, tawa Чªπğ dulu sangat kukenal, walaupun wajahnya banyak berubah.
Dia memang Zen,
Bagiku Zen sekarang adalah sosok yang bukan hanya menjadi semakin diam, wajahnya juga terlihat muram dengan mata yang suram. Padahal dari yang kudengar hidupnya sukses sekarang. Zen kini adalah seorang pejabat di sebuah instansi. Ia menjadi kepala salah satu Kantor Pemerintahan di kota Bengkulu. Selesai menyantap makan siang dan melaksanakan ibadah sholat zuhur, perjalanan berlanjut kembali menuju tempat rekreasi yang lainnya.
Pulau Penyu.
Senda gurau kembali pecah ruah, ketika semua Ŏ®ªńG saling berebutan mencari posisi untuk foto bersama sesaat sebelum menaiki speedboat yang sudah menunggu di dermaga. Saat itu memang menjadi saat yang istimewa. siapa pun kami di kotanya masing-masing. Pejabat kah, pengusaha kah, pendakwah kah,wanita karier kah, ibu rumah tangga kah, tidak satupun Чªπğ peduli, semuanya kembali menjadi sosok masa lalu, pribadi dua puluh enam tahun Чªπğ lalu, lengkap dengan kekonyolan mereka masing-masing.
Sementara aku?
Aku tetaplah sosok Riska yang selalu hobi bergaya di depan camera dengan berbagai pose. Di saat foto bersama itu aku kembali melihat Zen demikian berbeda.
Zen..? Kenapa hatiku selalu ingin memperhatikan Zen.. ?
Ada keinginan memanggil Zen untuk berdiri di dekatku, tapi tak pernah bisa kuucapkan, karena teman-teman yang lain sudah terlebih dahulu menarikku untuk kembali berfoto bersama mereka. Bahkan ketika ada kesempatan untuk berdiri berdekatan pun, Zen seolah memberi dinding yang tinggi diantara kami, sehingga aku sungkan dan sulit untuk mencari jendela apalagi pintu buat bisa masuk dan berbincang dengannya.
Matahari mulai tinggi saat speedboat membelah lautan biru yang luas membentang mengitari pulau-pulau kecil yang hijau berpantai landai dengan pasir putih di sekelilingnya. Semua bersorak gembira berbagi kebahagiaan berbagai jok, bermacam teka-tekipun saling dilontarkan untuk memeriahkan suasana. Aku dan Reska asyik bernyanyi seperti kebiasaan kami, semua lagu-lagu kenangan yang sering kami nyanyikan waktu di sekolah dulu satu persatu meluncur dari bibirku dan Reska. Di beberapa bagian kami saling meningkahi, atau hanya sekedar memberi paduan suara dalam variasi nada dan improvisasi.
Namaku dan Reska memang mirip. Kami juga memiliki hobi yanga sama yakni sama-sama suka bernyanyi dan berpuisi, bahkan kami juga aktif dalam group teater yang sama di sekolah. Dulu, ketika ada perlombaan nyanyi di kotaku, selalu akulah Чªπğ berhasil merebut peringkat pertama, dan Reska menyusul di rangking ke dua. Sebaliknya bila ada lomba baca puisi maka Reskalah Чªπğ berada di peringkat pertama itu, sedangkan aku berada di bawahnya. Beda lainnya antara aku dan dia, Reska berkulit putih bersih dan Riska ( aku) berkulit sawo matang. Tapi untuk saat ini persamaan kami menurut rekan-rekan, adalah hanya kami berdualah yang masih sangat gampang dikenali oleh semuanya.
Di atas laut luas, di antara sorak-sorai, sekilas kulihat sosok Zen duduk diam di buritan, tak jauh di sebelah kananku sama seperti tadi. Ia terlihat asyik mendengarkan para wanita bernyanyi sementara rekan-rekan pria meningkahi dengan memukul benda apapun sebagai musik pengiringnya, beberapa ada yang bergoyang tanda mereka suka dan menikmati. Tak lama kemudian Zen kulihat berdiri dan pergi entah kemana. Penasaran aku menelusuri dengan mataku semua bagian speedboat mencari keberadaan lelaki itu. Tapi ia bagai hilang di telan samudera. Hampir setengah jam aku kehilangan sosok Zen, sebelum kemudian kutemukan keberadaannya. Lelaki itu ternyata duduk di sebelah kemudi dengan sebatang rokok terselip di bibirnya, tatapan Zen terlihat jauh ke samudra yang luas. Di atas speedboat itu, Zen bagiku adalah sosok sendiri yang tak pernah ingin membaurkan diri dengan sekitarnya.
Sudah menjelang magrib saat speedboat mulai mendekati pantai pulau penyu, dengan bantuan perahu kecil terbuat dari kayu Чªπğ diberi tudung terpal seadanya kami akhirnya bisa mencecahkan kaki di pulau berpasir putih setelah terlebih dahulu turun dari perahu kayu dan masih harus melintasi hamparan karang yang amat indah tapi terasa perih ketika terinjak. Dua pohon beringin besar yang rindang daunnya seolah penjaga pulau yang dengan ramah mengucapkan selamat datang. Di antara ke dua pohon berdaun rindang itu, dua rumah kayu bercat hijau berdiri dengan kokoh. Hunian itu terlihat cukup nyaman untuk tempat istirahat nanti malam. Tak jauh dari sana dua tenda besar berwarna hijau telah didirikan bagi yang hendak berjaga hingga pagi.
Aku merebahkan tubuh yang agak lelah di atas tikar biru, teman-teman Чªπğ sudah sampai duluan terlihat santai rebahan dengan kepala bersandar di ransel masing-masing. Beberapa teman lelakiku telah bersiap untuk mengambil udhu karena waktu sholat magrib sudah tiba. Semua sudah berjejer dalam saf yang rapi, hanya Zen yang tak terlihat. Ada dimana dia? Ketika malam menjelang pun ternyata sosok Zen tetap tidak ada.
Meskipun demikian acara malam harinya tetap berjalan tak kalah meriah. Di awali dengan membakar sate ayam dan dilanjutkan dengan acara bakar ikan di dua tungku besi besar, suasana benar-benar menyenangkan. Aku menyimpan rasa letih yang sedikit-demi sedikit mulai merambat dengan menyibukkan diri bercengkrama bersama rekan-rekan wanitaku.
Suami Reska ternyata seorang da’i kondang di Ibu kota, dia juga memiliki beberapa sekolah islami serta yayasan dhuafa. Aku asyik mendengarkan cerita pertemuannya dengan sang suami yang ternyata malah seorang mualaf, begitu juga dengan pengalaman hidup teman-temanku yang lain tak kalah asyik buat di simak.
Ketika kuceritakan kalau suamiku adalah saudara tua dari Sean teman kami, semua terkejut. Sayang Sean sendiri tak bisa hadir karena sedang bertugas di luar kota. Setelah sekian waktu berlalu, baru kuketahui kalau Zen ikut rombongan rekan-rekan yang kini memancing. Untuk mengimbangi dinginnya angin laut yang mulai merasuk ke tulang, kami membuat beberapa permainan. Sayang suasana meriah malam itu terpaksa dihentikan, hujan lebat tiba-tiba datang. Guyurannya diselingi sambaran kilat dan gelegar petir tapi anehnya aku tak merasa takut.
Cukup lama menunggu hingga hujan reda kembali, Ania yang duduk bersandar di sebelahku kian terlihat khawatir, berkali-kali ia melongokkan kepala ke luar tenda sambil tetap menenteng baju di tangannya.
“Anakku ikut romobongan mancing Ris. Ini sudah menjelang dini hari, tapi mereka belum kembali apalagi hujan begini lebat, aku kuatir sekali.” Ania segera ditenangkan istri rekanku yang menjadi tuan rumah.
“Mancingnya tidak terlalu jauh kok, lagian yang jadi pemandunya In Syaa Allah sudah berpengalaman, jadi berdoa saja tidak akan terjadi apa-apa”
“Tapi, dia belum makan.” Sela, Ania.
“Iya, semua yang pergi belum makan, kita sudah sediakan ikan panggang buat mereka.” Aku menepuk-nepuk pundak Ania mencoba mengalirkan perasaan nyaman padanya. Berbaring di samping Ania, walau kucoba memejamkan mata, tapi ternyata tetap tak bisa. Sama seperti sahabatku aku juga gelisah. Entah kenapa selalu saja pikiranku tak pernah lepas dari Zen yang terasa demikian aneh.
“Ania.” Aku membuka percakapan. Perempuan di sebelahku memalingkan wajahnya.
“Kok Zen berubah, ya.” Lanjutku.
“Berubah?” Ania memiringkan tubuh menatapku.
“Iya.” Aku menarik nafas sebelum melanjutkan.
“Aku merasa Zen terlalu diam, wajahnya pun terlihat tidak tampan lagi.”
“Maksudnya?” Ania bertanya.
“ Harusnya dengan jabatan yang begitu tinggi dia bisa lebih berkharisma, tidak seperti sekarang. Kok malah kelihatan kurang terurus begitu ya?”
“Hm". Aku terdiam ketika melihat Ania sama sekali tidak tertarik dengan pernyataanku. Aku kembali mencoba memejamkan mata, ketika hening menjeda sekian waktu lamanya.
Menjelang subuh ternyata mataku tetap tak bisa dipejamkan, walaupun berkali-kali aku berusaha mencoba memancing kantuk dengan cara menatap ujung hidung sambil berhitung mulai dari satu hingga seratus tapi tetap tak berhasil. Lamat-lamat kemudian kudengar suara ribut yang kian lama kian ramai, suara percakapan dan teriakan saling meningkahi. Aku mencoba bangkit, dan kulihat Ania pun melakukan hal yang sama. Akhirnya kami putuskan bergabung saja dengan yang lain.
Ternyata keramaian itu berasal dari rekan-rekanku, mereka sedang menunggu datangnya penyu yang hendak bertelur di pinggir pantai.
Untuk pertama kalinya aku menyaksikaan salah satu dari sekian peristiwa alam yang sangat menarik, se ekor penyu merayap ke daratan mencari pasir lembut untuk menetas. Induk penyu bertubuh besar itu, menetaskan telur-telurnya di lubang pasir yang hangat. Aku terharu menyaksikan induk penyu dengan bobot delapan puluh kilogram itu ternyata meneteskan air mata saat ia kemudian harus meninggalkan telur-telur yang baru ditetasnya. Dengan cerdik sang ibu penyu mencoba menipu manusia, ia membuat lubang lain setelah sebelumnya menutup padat lubang tempat tidur cikal bakal anak-anaknya. Lalu dengan langkah perlahan ia kembali ke laut luas untuk melanjutkan kehidupan.
Banyak keinginan dalam hati yang tidak sampai, banyak rasa tak nyaman menyergap pikiran. Dari awal aku memang sudah menyimpan perasaan aneh yang aku sendiri tak tahu apa artinya. Yang jelas dalam suasana gembira berjumpa teman lama aku tetap saja bergumul dengan rasa tak nyaman yang tak jelas asal usulnya. Berdiri tegak aku di pinggir pantai, beberapa saat, aku hanya berdiri saja.
Ombak ketika itu surut sangat jauh.Di atas kepala awan pekat bergumpal-gumpal. Sebentar lagi pagi, tapi rembuan yang kini berada tepat di atas kepalaku tetap tak utuh nampaknya, rembulan hanya bersembunyi di balik awan. Angin meriapkan helai rambutku dari balik kerudung lebar yang menutupi sekedarnya. Sudah tidak ada lagi keramaian, semua berlindung di dalam tenda melanjutkan obrolan sampai pagi menjelang.
Rasa letih mulai menggerogoti tubuhku dengan sempurna, meskipun begitu besok pagi aku tetap memutuskan kembali ke kotaku, karena tugas di kantor memang tidak mungkin ditinggalkan. Semua protes dengan keputusaanku, karena malam minggu ini justru puncak acara yang sebenarnya dan aku di dapuk untuk ikut meramaikan. Tapi sabtu siang ini aku justru harus kembali ke kotaku untuk seterusnya bersama rombongan kantor melakukan perjalanan dinas ke kota lain.
Sebenarnya alangkah inginnya aku tetap bersama teman-temanku hingga akhir acara. Tapi tanggung jawab dan tugas yang telah disepakati sebelumnya, juga sudah menunggu. Setelah sarapan, semua berkumpul. Aku ikut duduk di atas pasir gembur, letih juga ternyata mengelilingi pulau penyu berburu objek pemotretan sambil memungut kerang-kerang dengan bentuk yang unik. Beberapa di antaranya bahkan sangat istimewa tekstur maupun warnanya.
Lumayan oleh-oleh buat anakku yang kecil, bathinku.
Ketika sibuk mengupas buah naga Чªπğ kemaren di petik dari kebun milik Reska, aku kembali melihat Zen. Kali ini Zen mengenakan Celana santai selutut dengan baju merah garis hitam, tapi mengapa semua yang bersentuhan dengan Zen terlihat lusuh di mataku? Seharusnya Zen lebih dari itu, seperti layaknya lelaki yang mapan dalam usia mau pun karier, tapi itu tak terlihat pada sosok Zen.
Aku memotongi empat buah Naga berwarna merah sempurna, kemudian membagikannya kepada rekan-rekanku.Kali ini kulihat Zen berdiri tidak begitu jauh di sebelah kiriku, ia terlihat tetap kukuh dalam diamnya. Akulah yang akhirnya memutuskan untuk bicara.
“Mau?” Tanyaku padanya.
“Tidak.” Aku melongo, jawaban singkat Zen, mematikan kata, sehingga aku menyibukkan diri kembali dengan memotong beberapa buah naga yang langsung saja habis disikat oleh teman-teman yang lain.
“Buah ini bukan buat dimakan.” Tiba-tiba Zen bicara, aku tidak tahu dia bicara pada siapa.
“Buah ini banyak digunakan sebagai bahan kosmetik. Lipstik yang anda-anda pakai, asalnya. Ya, dari buah naga ini.” Ia menjelaskan. Walau kata-kata itu tak bertujuan aku menjawab juga.
“Oh, gitu ya. Tapi rasanya lumayan enak lho.” Kataku. “Mau?” Aku kembali menawari, sambil menyodorkan sepotong buah naga ranum kepadanya.
“Gimana rasanya?” Zen bertanya. Suara Zen terdengar garing di telinga. Belum sempat menjawab kudengar Ia bertanya kembali dengan nada yang lebih keras
“Gimana rasanya…?”
“Manis.” Jawabku kecut seperti murid habis dimarahi guru. Dia menatapku agak lama sekarang.
“Coba aja.” Aku melanjutkan. Zen mendekat mengambil buah naga di tanganku dan mengunyahnya dengan nikmat, menurutku bahkan terlalu nikmat cara Zen memakannya.
“Enak, kan?” Pertanyaanku sama-sekali tak berjawab.
Dari pulau penyu, perjalanan dilanjutkan ke pulau cubadak, di sana sarana bermainnya lebih komplit. Tersedia permainan Jet-ski dan Banana-jet. Aku berencana tidak akan ikut ke Pulau itu, setelah kapal bersandar aku tidak turun ke pantai melainkan tetap di kapal menuju dermaga. Gema protes terdengar dimana-mana, mendengar kata-kataku. Sebelum turun dari kapal, Edris Чªπğ bertindak sebagai tuan rumah mengumumkan bahwa Reuni berikutnya akan di adakan di kota Pekanbaru. Tapi beberapa waktu kemudian meralatnya kembali.
“Ada Perubahan rekan-rekan. Pertemuan alumni kita berikutnya diadakan di kota Bengkulu awal bulan Juli mendatang.” Rekan-rekanku menyambut dengan suka cita, apalagi banyak yang belum pernah berwisata ke kota itu.
“Zen sudah siap menyambut kita awal bulan Juli, setelah liburan panjang sekolah.” Aku tersentak, mencoba mengulangi apa yang kudengar.
Juli…? Awal juli..?
Bukankah awal juli, tepatnya tanggal satu juli adalah hari ulang tahunku? Tapi entah kenapa aku sudah yakin tidak akan bisa hadir. Aku tidak akan ikut reuni di bulan Juli itu, ada perasaan tidak mungkin entah datang dari mana tapi berkali-kali bathinku mengatakannya.
“Bulan Juli itu ulang tahunku lho, Den.” Aku berbisik pada sahabatku Deni, yang kebetulan berdiri di sampingku.
“Oh, ya?” Deni menatapku dan aku mengedipkan sebelah mata, untuk meyakinkan kata-kataku baruan.
"Bertepatan banget." Deni menyikut pinggangku
"Iya." Kataku sambil mengangguk.
Ketika kapal hendak menepi, aku berdiri lebih dahulu dan menyalami teman-teman minta izin untuk pulang lebih awal. Sepintas kudengar mereka mengomel protes dengan keputusanku, tapi aku tidak terlalu menanggapi karena sesungguhnya aku pun ingin tetap bergabung. Aku juga menyalami Zen, sambil lewat sekilas kutepuk pundaknya.
“Yuk, Zen. Sampai ketemu di Bengkulu”. Kataku berbasa-bas. Aku tak tahu Zen menjawab atau tidak, cuma ketika mengulurkan tangan pada Edris, rekanku itu menolak dengan tegas uluran tanganku.
“Tidak ada salam perpisahan, kita kumpul dulu di pulau untuk makan siang, baru setelah itu kita pikirkan langkah berikutnya.” Aku tersenyum kecut, dan menarik tanganku kembali.
“Ya sudah kalau begitu, kita makan siang dulu Tis, enggak enak juga dengan Edris.” Tis yang memang berencana akan ikut pulang bersama denganku siang ini, mengangguk setuju. Ada tiga Ŏ®ªńG yang hendak kembali lebih awal siang ini. Aku, Darwis dan Tisna.
Pasir gembur membenamkan kakiku hingga betis. Walaupun ukuran pulaunya lebih kecil, namun fasilitas pulau ini lebih lengkap. Beberapa warung kecil berdiri di atasnya, pelampung dan peralatan renang lainnya tergelatak di mana-mana. Di laut yang dangkal jet-ski juga terlihat berseliweran, suasana itu membuat pulau terlihat lebih hidup dari Pulau Penyu tempat kami menginap semalam.
Berdiri aku memandang ke tengah lautan lepas. Agak ke tengah, Kapal yang tadi kutumpangi, masih sibuk memindahkan barang-barang dan perlengkapan ke speedboat, untuk seterusnya dibawa ke pulau, ketika aku memperhatikan kegiatan itulah dari kejauhan kulihat seseorang melompat dari kapal dan kemudian berenang menuju pantai. Ada-ada saja, bathinku.
Kemaren juga ada teman yang melompat dari speedboat dan berenang ke pantai, sekarang tepat jam dua belas siang di panas matahari yang terik pula, seorang rekanku kembali nekat berenang. Aku pandangi saja hingga dia menepi. Ketika sosok itu semakin dekat segera kusadari kalau itu Zen, tubuh basahnya melintasiku menuju ke arah warung tempat teman-teman berkumpul.
Di suatu kesempatan Zen yang masih kuyub mendatangiku, ia berdiri tepat di sampingku dan aku menyapanya asal saja.
“Kenapa seperti gelagapan saat berenang tadi, bukannya kamu pinter renang?” Aku hanya melirik Zen sekilas, selebihnya pandangan kutujukan ke speedboat yang masih kelihatan sibuk bongkar muat. Dulu waktu masih kanak-kanak aku dan Zen sering sekali saling tantang untuk pacu berenang di sungai Чªπğ berair keruh, dan pertandingan itu selalu dimenangkan oleh Zen
“Kelelep, dan kena cipratan jet-ski, sehingga tiga kali tertelan air” Jawabnya.
“O….” Aku mencoba memahami.
“Seharusnya kalau ada yang berenang, nggak boleh ada jetski yang melintas, bisa membahayakan.” Zen melanjutkan kata-katanya,
“Begitu ya?” Tanyaku.
“Iya.” Zen menjawab singkat.
berbicara dengan Zen terus-terang sangat tidak mengenakkan, suasananya selalu terasa kaku. Aku kehilangan semangat melanjutkan pembicaraan. Kulayangkan mataku melihat ke arah lainnya, sekedar meredakan rasa tak enak di hatiku, namun ketika aku kembali menoleh, Zen ternyata sudah tak ada di tempatnya tadi berdiri.
"Benar-benar terlalu," bisik hatiku.
Sesaat kemudian aku kembali sibuk mengabadikan beberapa objek yang terlihat bagus. ketika melihat Dani mendekatiku, aku mengajaknya foto bareng.
“Kita foto bersama temen masa kecil yuk, Dan.” Kataku
“ Ayo, mana Zen?” Dani mengedarkan pandangan, aku juga. Di kejauhan kelihatan Zen berdiri sendiri dengan tubuh masih basah kubub, aku nyeletuk sambil mengernyitkan dahi melihat Zen masih bertelanjang dada.
“Tak usah bareng Zen lagi, Dan. Masak kondisi kayak gitu mau difoto, bisa-bisa suamiku salah pengertian nantinya.” Dani tertawa, begitu juga dengan aku, Akhirnya kami memutuskan cuma foto berdua saja.
Dani, aku dan Zen dibesarkan di Kompleks yang sama, kami sudah berteman sejak dari sekolah dasar, hingga SMA dan selalu di sekolah yang sama pula. Zen adalah murid yang pintar, suatu kali dia pernah protes karena dianggap salah oleh guru matematika kami. Zen dengan berani mendatangi sang guru dan menjelaskan apa yang dibuatnya sama sekali tidak salah Cuma rumusnya saja yang beda, tapi hasil tetap sama dan itu tidak salah. Dengan semangat dia menjelaskan logikanya kepada Guru Matematika kami. Akhirnya nilai Zen dirubah menjadi 10 dari nilai 9 pada awalnya. Saat itu Zen terlihat luar biasa di mataku.
Dengan sedikit tipu muslihat teman-teman, akhirnya mereka berhasil menggiringku ke laut, untuk ikut berselancar dengan Banana-jet, dan diceburkan ke air yang terasa asin ketika tertelan. Semua tertawa gembira melihat aku keluar dari air dengan sekujur tubuh basah kuyub. Aku mengalah dan mengundurkan waktu kepulanganku hingga nanti malam. Tak ada harapan untuk bisa melepaskan diri lagi. Aku menelpon rekan kantor, menyatakan tidak mungkin kembali hari ini. Bajuku basah kuyup begitu juga kerudung yang kupakai.
“Ini baru Riska yang dulu, Чªπğ selalu asyik di ajak lomba panco. Kalau yang kemaren? Oh, No..!” Mordan mengancungkan dua jempolnya tinggi-tinggi disambut tawa teman-teman yang ada diwarung. Aku Cuma mencibir.
“Mantaaaap…!” Herry pun jejingkrakan melihat ekspresiku.
"Mau pulang juga ya, bund?"Tanya Rafiq sambil cengengesan.
"Mari silahkan." Lanjutnya. Aku menekuk muka pura-pura marah.
“Ayo, silahkan dijemur bajunya biar kering kalau mau berangkat juga.” Atika ikut-ikutan berseloroh sambil meniup gorengan yang masih mengepulkan asap di tangannya.
“Mari bunda sayang, silahkan cari angin dulu sambil menunggu baju kering.“ Ardan tak mau kalah.
Beragam celetukan teman-teman, diiringi cekikikkan yang lainnya kutanggapi dengan senyum masam. Bahkan ada yang berkata seraya berlagak memberi hormat merunduk dan mempersilahkanku untuk naik ke kapal yang mulai bergerak hendak menuju ke dermaga. Aku kembali membalas dengan senyum yang sengaja dibikin lebih kecut.
Keluar dari warung tak sengaja pandanganku terlayangkan kembali ke pojok dimana Zen tadi berdiri, dan aku memalingkan sekali lagi wajahku ke arah Zen, melihat ada yang ganjil dengan lelaki itu.
Ada apa dengan Zen..?
Mengapa ia seperti terkulai kehilangan daya begitu. Rasa kuatir menyeruak dalam hatiku, tapi berusaha kutepis. Aku mencoba ngobrol dengan beberapa teman hanya sesaat, setelah itu kembali pandanganku tertuju pada sosok Zen yang berada cukup jauh dari tempatku berdiri, dan kali ini aku tak kuat lagi menahan langkah untuk tidak menghampiri. Aku yakin ada yang tak beres.
Ketika sampai Zen terlihat sudah tak sadarkan diri, matanya terkatup. Seorang teman berusaha memberi tekanan pada dada Zen. Jantungku berdetak cepat, apa yang terjadi padamu Zen, Sahabat kecilku. Aku mencoba memberi bantuan dengan memijat kakinya yang dingin. Tapi perasaanku sangat tak enak, aku seolah merasa akan kehilangan dirinya. Berkali-kali diberi nafas bantuan Zen tidak membaik. Aku beruraian air mata mencoba memberi kekuatan pada Zen.
“Jangan pergi temanku, jangan pergi. Ingat anak-anak, Zen. Ingat keluargamu, mereka masih sangat membutuhkanmu.” Bathinku. Air mataku berlelehan. Ketika kondisi Zen tak kunjung membaik, aku mulai panik dan berteriak memanggil teman-teman yang masih ngobrol di warung, sambil hatiku terus berzikir.
“Ya Allah, selamatkan sahabatku.”
Tapi bathinku mengatakan lain, aku seperti telah kehilangan temanku. Tubuh Zen membiru. Dari mulutnya keluar air bercampur buah naga yang tadi pagi dimakan Zen sebelum berangkat. Air keluar ketika dada Zen ditekan berkali-kali, kembali dari mulutnya menyembur Air yang bahkan terciprat membasahi kerudungku. semua bilang Zen sudah bisa bernafas sendiri, tapi aku sangsi. Berkali-kali kugosok tangan dan kaki Zen dengan menggunakan bantuan pasir supaya bisa merangsang syaraf perasanya kembali. Namun kala kupegang pergelangan tangan Zen Чªπğ dingin, aku menggigil dengan hati kecut.
Ya, Allah...! Aku tidak menemukan detaknya.
“Panggil kapal, bawa Zen ke rumah sakit, ini sudah tidak bisa dengan pertolongan pertama lagi.” Kataku setengah meraung.
“Ayo, cepat…!” aku berteriak ketika teman-teman yang berkerumun masih terlihat bengong. Akhirnya Zen digotong dan dibawa dengan speedboat menuju rumah sakit. Kami semua berdoa bersama mengharapkan pertolongan Tuhan, untuk kesembuhan Zen. Tak berapa lama Meri istri Erdis menerima kabar dari rumah sakit, aku diam berusaha mendengarkan, dan ketika Meri mengatupkan mata sembari mengigit bibirnya, Aku tidak bisa menahan gigil di hatiku, airmataku berlelehan. Aku benar-benar telah kehilangan Zen, sahabat masa kecilku yang dua hari ini terlihat begitu aneh sikapnya, setelah dua puluh enam tahun kami tidak bertemu.
Selamat Jalan sahabatku, saudaraku Zen. Pergilah dengan tenang.
Inikah maksud di balik semua sikap teman-teman yang berusaha menahan langkahku untuk tidak pergi. Alam berkehendak agar aku menyaksikan dan ikut mengantar kepergianmu Zen? Samar-samar ingatanku kembali ke masa dua puluh enam tahun yang lalu, ketika Zen pertama kali menyatakan cintanya padaku, di tepi pantai juga di antara suara deburan ombak yang saling berkejaran.
“Jangan katakan aku gila Ris, karena aku mencintaimu.” Ia berkata perlahan dengan senyuman samar terkulum dibibirnya.
Di pantai pula akhirnya engkau ingin aku melepaskan pergimu? Berkelebat kembali ingatanku ketika mengantar kepergian Zen saat dia lulus sebagai salah seorang mahasiswa di ITB. Teluk Bayur ramai ketika itu, siang Чªπğ terik dan hiruk pikuk aktifitas pelabuhan, ditingkahi bunyi mesin kapal yang sekali-kali meniupkan peluit panjangnya, pertanda akan segera diberangkatkan.
“Ris.” Ando menarik tanganku agak menjauh dari kerumunan rekan-rekan yang ikut mengantar keberangkatan Zen.
“Kamu tahu apa yang Zen bilang barusan padaku?” Aku menggeleng dan Ando tersenyum nakal
“Dia bilang, Aku titipkan Riska, wanita yang paling kusayangi di dunia ini padamu, Ando”. Mataku membelalak, sembari meletakkan jemari di mulut. Aku takut dan kuatir apa yang dikatakan Ando didengar juga oleh sahabatku Erlin. Karena aku tahu Erlin sangat mencintai Zen, dan Erlin adalah sahabatku. Aku sayang padanya, buat dia aku ikhlas menghilangkan seorang Zen dari hatiku.
Di atas buritan kapal Zen terlihat kecil, tapi lambaian tangannya masih nampak jelas, dengan bibir terukir senyuman. Senyum khas Zen, dulu aku pernah sangat suka dengan senyum itu, bahkan cukup lama senyuman khas itu hadir menghiasi mimpi-mimpi malamku.
Pergilah Zen….pergilah dengan tenang menuju padaNya… .
Tamat
Pasir Parupuk , 25-04-2011
By: Rieska Praditya Ernaningtyas
Aku diliputi keraguan hingga waktu terakhir keberangkatan diputuskan. Keinginan untuk pergi dan tidak, selalu bagai sisi mata uang yang butuh pemastian kiri atau kanan, depan atau belakang, atas atau kah bawah.
Pergi atau tidak…?
Bila aku memutuskan untuk pergi, itu pun tetap tak pasti. Di lipatan hati terkecil, selalu ada pergumulan resah yang tak kupahami. Akhirnya kukesampingkan tanggungjawab di kantor dengan ikut bersama laju mobil yang kemudian membawaku pergi menjemput kenangan yang sudah dua puluh enam tahun kutinggalkan.
Mentari pagi rata menyinari sisi jalanan perbukitan hijau yang terjal menanjak dan menurun. Di sebelah kananku sepanjang mata memandang biru laut membentang luas, di atasnya kapal-kapal besar dan perahu kecil nelayan ikut memberi warna alam, sehingga semuanya sempurna menjadi keindahan yang membuat takjub, Allah sungguh Maha Karya.
Rindang pohon besar dengan akar yang saling mengikatkan buhul dan kokoh menjembatani aliran sungai deras yang mengalir di antara bebatuan di bawahnya, menjadi saksi tangan kami yang kembali berjabatan.
Tak satu pun wajah yang kukenal, semua ukuran tubuh telah melebar. Dua puluh enam tahun ternyata membuat mata jadi tidak bisa lagi mengirimkan peta ke pikiran, untuk memunculkan sebuah nama buat disebut hingga rindu bersambut. Ragu-ragu aku menyebutkan nama.
“Riska.” Kataku sambil menerima uluran tangan lelaki berkumis dengan senyumnya yang merekah.
“Anton.” Suara itupun terasa asing di telinga, hingga sama sekali tak memunculkan sosok masa lalunya di benakku. Seorang wanita berbaju Krem dengan celana jeans, tubuhnya tak begitu gemuk mengulurkan tangan ke arah wanita lain yang berdiri menyamping di depanku.
“Mira.” Riang suaranya.
“Wati.” Sahut yang lain.
“Bimo.” Suara seorang lelaki di sekitarku menyebutkan namanya. Gaung tawa dan teriakan tanda gembira membahana di keramaian rekan-rekan masa laluku.
“Riska…! Penyanyi kita yang suaranya sangat merdu, ya?” Seruan diiringi gelak tawa datang dari lelaki bertubuh tinggi besar, kumisnya tebal dan jenggotnya keriting, ia menyeruak dari keramaian menjabat tanganku Чªπğ jadi kecil dalam genggamanya. Semua mata menatap ke arah lelaki tambun dengan penampilannya yang heboh.
Hanya sedetik, setelah itu pecahlah tawa, teriakan penuh rasa antusias bergema. Waktu perlahan-lahan mengembalikan ingatan kami, dari senyum yang khas dari tatapan mata yang spesial, lengan sontak terkembang saling merangkul dan jabatan itu kuulangi kembali sekedar meyakinkan diri sendiri, bahwa itu memang teman-teman masa lalu.
Kata mereka aku tak banyak berubah, aku masih sama seperti dulu walau lebih gemuk, wajahku masih mudah dikenali. Sebaliknya bagiku mereka sangat berubah, begitu juga dengan sosok yang hanya berdiri saja di pojok, tak berkata dan tak tersenyum. Waktu kujabat tangannya sulit kutebak apa isi hatinya.
“Zen…! Zen kan…?”
Kujabat dan kuguncang tangannya, tapi lelaki di depanku tak bergeming, ia hanya memandang dengan ekspresi yang sulit disimpulkan maknanya. Aku menyimpan rasa tak mengerti, lalu dengan heran bercampur kecewa beranjak meninggalkannya untuk bergabung kembali dengan teman-teman Чªπğ lain.
Bagiku Zen bukan hanya sekedar sahabat dua puluh enam tahun yang lalu saja. Aku mengenalnya dari kecil. Kami tumbuh dan besar bersama-sama. Walaupun dikenal berwatak pendiam, untukku Zen tetap mempunyai cerita yang selalu bisa dibaginya. Tapi hari ini tak ada tutur kata, hanya tatapan mata, itu pun begitu datar bagai tak pernah ada aku di memori kehidupannya.
Kami tidak berlama-lama menikmati keindahan objek wisata Jembatan Akar. Setelah puas mengabadikan keindahan alam daerah pesisir itu, iring-iringan mobilpun kembali bergerak, menuju rumah salah satu rekanku Чªπğ dijadikan tempat berkumpul dan beristirahat. Masih banyak tempat yang akan kami kunjungi hingga sore menjelang, dan sebelum berangkat Erdi sang tuan rumahpun sudah menyiapkan hidangan makan siang di halaman belakang kediamannya yang luas.
Sebagai orang nomor dua di daerah itu, Rumah dinas yang ditempati Erdi lebih dari cukup menampung jumlah tamu yang hadir.
Suasana pun masih heboh dengan berbagai cerita masa lalu dan masa kini. Semua cerita tetap saja menarik buat di kisahkan kembali. Ketika aku asyik berbincang dengan beberapa rekan sekelasku dulu, Zen dari mejanya menyapa.
“Mana suaminya…?”. Pertanyaan tak beralamat itu tetap kumengerti sebagai pertanyaan yang ditujukan buatku. Aku berpaling kepadanya, sekilas kulihat ada senyum di wajah Zen, dan pandangan matanya juga seperti sudah mengenali aku kembali.
“Mana istrinya..?” Balasku dengan mulut yang juga dipenuhi senyum. Ketika itulah kulihat zen tertawa, tawa Чªπğ dulu sangat kukenal, walaupun wajahnya banyak berubah.
Dia memang Zen,
Bagiku Zen sekarang adalah sosok yang bukan hanya menjadi semakin diam, wajahnya juga terlihat muram dengan mata yang suram. Padahal dari yang kudengar hidupnya sukses sekarang. Zen kini adalah seorang pejabat di sebuah instansi. Ia menjadi kepala salah satu Kantor Pemerintahan di kota Bengkulu. Selesai menyantap makan siang dan melaksanakan ibadah sholat zuhur, perjalanan berlanjut kembali menuju tempat rekreasi yang lainnya.
Pulau Penyu.
Senda gurau kembali pecah ruah, ketika semua Ŏ®ªńG saling berebutan mencari posisi untuk foto bersama sesaat sebelum menaiki speedboat yang sudah menunggu di dermaga. Saat itu memang menjadi saat yang istimewa. siapa pun kami di kotanya masing-masing. Pejabat kah, pengusaha kah, pendakwah kah,wanita karier kah, ibu rumah tangga kah, tidak satupun Чªπğ peduli, semuanya kembali menjadi sosok masa lalu, pribadi dua puluh enam tahun Чªπğ lalu, lengkap dengan kekonyolan mereka masing-masing.
Sementara aku?
Aku tetaplah sosok Riska yang selalu hobi bergaya di depan camera dengan berbagai pose. Di saat foto bersama itu aku kembali melihat Zen demikian berbeda.
Zen..? Kenapa hatiku selalu ingin memperhatikan Zen.. ?
Ada keinginan memanggil Zen untuk berdiri di dekatku, tapi tak pernah bisa kuucapkan, karena teman-teman yang lain sudah terlebih dahulu menarikku untuk kembali berfoto bersama mereka. Bahkan ketika ada kesempatan untuk berdiri berdekatan pun, Zen seolah memberi dinding yang tinggi diantara kami, sehingga aku sungkan dan sulit untuk mencari jendela apalagi pintu buat bisa masuk dan berbincang dengannya.
Matahari mulai tinggi saat speedboat membelah lautan biru yang luas membentang mengitari pulau-pulau kecil yang hijau berpantai landai dengan pasir putih di sekelilingnya. Semua bersorak gembira berbagi kebahagiaan berbagai jok, bermacam teka-tekipun saling dilontarkan untuk memeriahkan suasana. Aku dan Reska asyik bernyanyi seperti kebiasaan kami, semua lagu-lagu kenangan yang sering kami nyanyikan waktu di sekolah dulu satu persatu meluncur dari bibirku dan Reska. Di beberapa bagian kami saling meningkahi, atau hanya sekedar memberi paduan suara dalam variasi nada dan improvisasi.
Namaku dan Reska memang mirip. Kami juga memiliki hobi yanga sama yakni sama-sama suka bernyanyi dan berpuisi, bahkan kami juga aktif dalam group teater yang sama di sekolah. Dulu, ketika ada perlombaan nyanyi di kotaku, selalu akulah Чªπğ berhasil merebut peringkat pertama, dan Reska menyusul di rangking ke dua. Sebaliknya bila ada lomba baca puisi maka Reskalah Чªπğ berada di peringkat pertama itu, sedangkan aku berada di bawahnya. Beda lainnya antara aku dan dia, Reska berkulit putih bersih dan Riska ( aku) berkulit sawo matang. Tapi untuk saat ini persamaan kami menurut rekan-rekan, adalah hanya kami berdualah yang masih sangat gampang dikenali oleh semuanya.
Di atas laut luas, di antara sorak-sorai, sekilas kulihat sosok Zen duduk diam di buritan, tak jauh di sebelah kananku sama seperti tadi. Ia terlihat asyik mendengarkan para wanita bernyanyi sementara rekan-rekan pria meningkahi dengan memukul benda apapun sebagai musik pengiringnya, beberapa ada yang bergoyang tanda mereka suka dan menikmati. Tak lama kemudian Zen kulihat berdiri dan pergi entah kemana. Penasaran aku menelusuri dengan mataku semua bagian speedboat mencari keberadaan lelaki itu. Tapi ia bagai hilang di telan samudera. Hampir setengah jam aku kehilangan sosok Zen, sebelum kemudian kutemukan keberadaannya. Lelaki itu ternyata duduk di sebelah kemudi dengan sebatang rokok terselip di bibirnya, tatapan Zen terlihat jauh ke samudra yang luas. Di atas speedboat itu, Zen bagiku adalah sosok sendiri yang tak pernah ingin membaurkan diri dengan sekitarnya.
Sudah menjelang magrib saat speedboat mulai mendekati pantai pulau penyu, dengan bantuan perahu kecil terbuat dari kayu Чªπğ diberi tudung terpal seadanya kami akhirnya bisa mencecahkan kaki di pulau berpasir putih setelah terlebih dahulu turun dari perahu kayu dan masih harus melintasi hamparan karang yang amat indah tapi terasa perih ketika terinjak. Dua pohon beringin besar yang rindang daunnya seolah penjaga pulau yang dengan ramah mengucapkan selamat datang. Di antara ke dua pohon berdaun rindang itu, dua rumah kayu bercat hijau berdiri dengan kokoh. Hunian itu terlihat cukup nyaman untuk tempat istirahat nanti malam. Tak jauh dari sana dua tenda besar berwarna hijau telah didirikan bagi yang hendak berjaga hingga pagi.
Aku merebahkan tubuh yang agak lelah di atas tikar biru, teman-teman Чªπğ sudah sampai duluan terlihat santai rebahan dengan kepala bersandar di ransel masing-masing. Beberapa teman lelakiku telah bersiap untuk mengambil udhu karena waktu sholat magrib sudah tiba. Semua sudah berjejer dalam saf yang rapi, hanya Zen yang tak terlihat. Ada dimana dia? Ketika malam menjelang pun ternyata sosok Zen tetap tidak ada.
Meskipun demikian acara malam harinya tetap berjalan tak kalah meriah. Di awali dengan membakar sate ayam dan dilanjutkan dengan acara bakar ikan di dua tungku besi besar, suasana benar-benar menyenangkan. Aku menyimpan rasa letih yang sedikit-demi sedikit mulai merambat dengan menyibukkan diri bercengkrama bersama rekan-rekan wanitaku.
Suami Reska ternyata seorang da’i kondang di Ibu kota, dia juga memiliki beberapa sekolah islami serta yayasan dhuafa. Aku asyik mendengarkan cerita pertemuannya dengan sang suami yang ternyata malah seorang mualaf, begitu juga dengan pengalaman hidup teman-temanku yang lain tak kalah asyik buat di simak.
Ketika kuceritakan kalau suamiku adalah saudara tua dari Sean teman kami, semua terkejut. Sayang Sean sendiri tak bisa hadir karena sedang bertugas di luar kota. Setelah sekian waktu berlalu, baru kuketahui kalau Zen ikut rombongan rekan-rekan yang kini memancing. Untuk mengimbangi dinginnya angin laut yang mulai merasuk ke tulang, kami membuat beberapa permainan. Sayang suasana meriah malam itu terpaksa dihentikan, hujan lebat tiba-tiba datang. Guyurannya diselingi sambaran kilat dan gelegar petir tapi anehnya aku tak merasa takut.
Cukup lama menunggu hingga hujan reda kembali, Ania yang duduk bersandar di sebelahku kian terlihat khawatir, berkali-kali ia melongokkan kepala ke luar tenda sambil tetap menenteng baju di tangannya.
“Anakku ikut romobongan mancing Ris. Ini sudah menjelang dini hari, tapi mereka belum kembali apalagi hujan begini lebat, aku kuatir sekali.” Ania segera ditenangkan istri rekanku yang menjadi tuan rumah.
“Mancingnya tidak terlalu jauh kok, lagian yang jadi pemandunya In Syaa Allah sudah berpengalaman, jadi berdoa saja tidak akan terjadi apa-apa”
“Tapi, dia belum makan.” Sela, Ania.
“Iya, semua yang pergi belum makan, kita sudah sediakan ikan panggang buat mereka.” Aku menepuk-nepuk pundak Ania mencoba mengalirkan perasaan nyaman padanya. Berbaring di samping Ania, walau kucoba memejamkan mata, tapi ternyata tetap tak bisa. Sama seperti sahabatku aku juga gelisah. Entah kenapa selalu saja pikiranku tak pernah lepas dari Zen yang terasa demikian aneh.
“Ania.” Aku membuka percakapan. Perempuan di sebelahku memalingkan wajahnya.
“Kok Zen berubah, ya.” Lanjutku.
“Berubah?” Ania memiringkan tubuh menatapku.
“Iya.” Aku menarik nafas sebelum melanjutkan.
“Aku merasa Zen terlalu diam, wajahnya pun terlihat tidak tampan lagi.”
“Maksudnya?” Ania bertanya.
“ Harusnya dengan jabatan yang begitu tinggi dia bisa lebih berkharisma, tidak seperti sekarang. Kok malah kelihatan kurang terurus begitu ya?”
“Hm". Aku terdiam ketika melihat Ania sama sekali tidak tertarik dengan pernyataanku. Aku kembali mencoba memejamkan mata, ketika hening menjeda sekian waktu lamanya.
Menjelang subuh ternyata mataku tetap tak bisa dipejamkan, walaupun berkali-kali aku berusaha mencoba memancing kantuk dengan cara menatap ujung hidung sambil berhitung mulai dari satu hingga seratus tapi tetap tak berhasil. Lamat-lamat kemudian kudengar suara ribut yang kian lama kian ramai, suara percakapan dan teriakan saling meningkahi. Aku mencoba bangkit, dan kulihat Ania pun melakukan hal yang sama. Akhirnya kami putuskan bergabung saja dengan yang lain.
Ternyata keramaian itu berasal dari rekan-rekanku, mereka sedang menunggu datangnya penyu yang hendak bertelur di pinggir pantai.
Untuk pertama kalinya aku menyaksikaan salah satu dari sekian peristiwa alam yang sangat menarik, se ekor penyu merayap ke daratan mencari pasir lembut untuk menetas. Induk penyu bertubuh besar itu, menetaskan telur-telurnya di lubang pasir yang hangat. Aku terharu menyaksikan induk penyu dengan bobot delapan puluh kilogram itu ternyata meneteskan air mata saat ia kemudian harus meninggalkan telur-telur yang baru ditetasnya. Dengan cerdik sang ibu penyu mencoba menipu manusia, ia membuat lubang lain setelah sebelumnya menutup padat lubang tempat tidur cikal bakal anak-anaknya. Lalu dengan langkah perlahan ia kembali ke laut luas untuk melanjutkan kehidupan.
Banyak keinginan dalam hati yang tidak sampai, banyak rasa tak nyaman menyergap pikiran. Dari awal aku memang sudah menyimpan perasaan aneh yang aku sendiri tak tahu apa artinya. Yang jelas dalam suasana gembira berjumpa teman lama aku tetap saja bergumul dengan rasa tak nyaman yang tak jelas asal usulnya. Berdiri tegak aku di pinggir pantai, beberapa saat, aku hanya berdiri saja.
Ombak ketika itu surut sangat jauh.Di atas kepala awan pekat bergumpal-gumpal. Sebentar lagi pagi, tapi rembuan yang kini berada tepat di atas kepalaku tetap tak utuh nampaknya, rembulan hanya bersembunyi di balik awan. Angin meriapkan helai rambutku dari balik kerudung lebar yang menutupi sekedarnya. Sudah tidak ada lagi keramaian, semua berlindung di dalam tenda melanjutkan obrolan sampai pagi menjelang.
Rasa letih mulai menggerogoti tubuhku dengan sempurna, meskipun begitu besok pagi aku tetap memutuskan kembali ke kotaku, karena tugas di kantor memang tidak mungkin ditinggalkan. Semua protes dengan keputusaanku, karena malam minggu ini justru puncak acara yang sebenarnya dan aku di dapuk untuk ikut meramaikan. Tapi sabtu siang ini aku justru harus kembali ke kotaku untuk seterusnya bersama rombongan kantor melakukan perjalanan dinas ke kota lain.
Sebenarnya alangkah inginnya aku tetap bersama teman-temanku hingga akhir acara. Tapi tanggung jawab dan tugas yang telah disepakati sebelumnya, juga sudah menunggu. Setelah sarapan, semua berkumpul. Aku ikut duduk di atas pasir gembur, letih juga ternyata mengelilingi pulau penyu berburu objek pemotretan sambil memungut kerang-kerang dengan bentuk yang unik. Beberapa di antaranya bahkan sangat istimewa tekstur maupun warnanya.
Lumayan oleh-oleh buat anakku yang kecil, bathinku.
Ketika sibuk mengupas buah naga Чªπğ kemaren di petik dari kebun milik Reska, aku kembali melihat Zen. Kali ini Zen mengenakan Celana santai selutut dengan baju merah garis hitam, tapi mengapa semua yang bersentuhan dengan Zen terlihat lusuh di mataku? Seharusnya Zen lebih dari itu, seperti layaknya lelaki yang mapan dalam usia mau pun karier, tapi itu tak terlihat pada sosok Zen.
Aku memotongi empat buah Naga berwarna merah sempurna, kemudian membagikannya kepada rekan-rekanku.Kali ini kulihat Zen berdiri tidak begitu jauh di sebelah kiriku, ia terlihat tetap kukuh dalam diamnya. Akulah yang akhirnya memutuskan untuk bicara.
“Mau?” Tanyaku padanya.
“Tidak.” Aku melongo, jawaban singkat Zen, mematikan kata, sehingga aku menyibukkan diri kembali dengan memotong beberapa buah naga yang langsung saja habis disikat oleh teman-teman yang lain.
“Buah ini bukan buat dimakan.” Tiba-tiba Zen bicara, aku tidak tahu dia bicara pada siapa.
“Buah ini banyak digunakan sebagai bahan kosmetik. Lipstik yang anda-anda pakai, asalnya. Ya, dari buah naga ini.” Ia menjelaskan. Walau kata-kata itu tak bertujuan aku menjawab juga.
“Oh, gitu ya. Tapi rasanya lumayan enak lho.” Kataku. “Mau?” Aku kembali menawari, sambil menyodorkan sepotong buah naga ranum kepadanya.
“Gimana rasanya?” Zen bertanya. Suara Zen terdengar garing di telinga. Belum sempat menjawab kudengar Ia bertanya kembali dengan nada yang lebih keras
“Gimana rasanya…?”
“Manis.” Jawabku kecut seperti murid habis dimarahi guru. Dia menatapku agak lama sekarang.
“Coba aja.” Aku melanjutkan. Zen mendekat mengambil buah naga di tanganku dan mengunyahnya dengan nikmat, menurutku bahkan terlalu nikmat cara Zen memakannya.
“Enak, kan?” Pertanyaanku sama-sekali tak berjawab.
Dari pulau penyu, perjalanan dilanjutkan ke pulau cubadak, di sana sarana bermainnya lebih komplit. Tersedia permainan Jet-ski dan Banana-jet. Aku berencana tidak akan ikut ke Pulau itu, setelah kapal bersandar aku tidak turun ke pantai melainkan tetap di kapal menuju dermaga. Gema protes terdengar dimana-mana, mendengar kata-kataku. Sebelum turun dari kapal, Edris Чªπğ bertindak sebagai tuan rumah mengumumkan bahwa Reuni berikutnya akan di adakan di kota Pekanbaru. Tapi beberapa waktu kemudian meralatnya kembali.
“Ada Perubahan rekan-rekan. Pertemuan alumni kita berikutnya diadakan di kota Bengkulu awal bulan Juli mendatang.” Rekan-rekanku menyambut dengan suka cita, apalagi banyak yang belum pernah berwisata ke kota itu.
“Zen sudah siap menyambut kita awal bulan Juli, setelah liburan panjang sekolah.” Aku tersentak, mencoba mengulangi apa yang kudengar.
Juli…? Awal juli..?
Bukankah awal juli, tepatnya tanggal satu juli adalah hari ulang tahunku? Tapi entah kenapa aku sudah yakin tidak akan bisa hadir. Aku tidak akan ikut reuni di bulan Juli itu, ada perasaan tidak mungkin entah datang dari mana tapi berkali-kali bathinku mengatakannya.
“Bulan Juli itu ulang tahunku lho, Den.” Aku berbisik pada sahabatku Deni, yang kebetulan berdiri di sampingku.
“Oh, ya?” Deni menatapku dan aku mengedipkan sebelah mata, untuk meyakinkan kata-kataku baruan.
"Bertepatan banget." Deni menyikut pinggangku
"Iya." Kataku sambil mengangguk.
Ketika kapal hendak menepi, aku berdiri lebih dahulu dan menyalami teman-teman minta izin untuk pulang lebih awal. Sepintas kudengar mereka mengomel protes dengan keputusanku, tapi aku tidak terlalu menanggapi karena sesungguhnya aku pun ingin tetap bergabung. Aku juga menyalami Zen, sambil lewat sekilas kutepuk pundaknya.
“Yuk, Zen. Sampai ketemu di Bengkulu”. Kataku berbasa-bas. Aku tak tahu Zen menjawab atau tidak, cuma ketika mengulurkan tangan pada Edris, rekanku itu menolak dengan tegas uluran tanganku.
“Tidak ada salam perpisahan, kita kumpul dulu di pulau untuk makan siang, baru setelah itu kita pikirkan langkah berikutnya.” Aku tersenyum kecut, dan menarik tanganku kembali.
“Ya sudah kalau begitu, kita makan siang dulu Tis, enggak enak juga dengan Edris.” Tis yang memang berencana akan ikut pulang bersama denganku siang ini, mengangguk setuju. Ada tiga Ŏ®ªńG yang hendak kembali lebih awal siang ini. Aku, Darwis dan Tisna.
Pasir gembur membenamkan kakiku hingga betis. Walaupun ukuran pulaunya lebih kecil, namun fasilitas pulau ini lebih lengkap. Beberapa warung kecil berdiri di atasnya, pelampung dan peralatan renang lainnya tergelatak di mana-mana. Di laut yang dangkal jet-ski juga terlihat berseliweran, suasana itu membuat pulau terlihat lebih hidup dari Pulau Penyu tempat kami menginap semalam.
Berdiri aku memandang ke tengah lautan lepas. Agak ke tengah, Kapal yang tadi kutumpangi, masih sibuk memindahkan barang-barang dan perlengkapan ke speedboat, untuk seterusnya dibawa ke pulau, ketika aku memperhatikan kegiatan itulah dari kejauhan kulihat seseorang melompat dari kapal dan kemudian berenang menuju pantai. Ada-ada saja, bathinku.
Kemaren juga ada teman yang melompat dari speedboat dan berenang ke pantai, sekarang tepat jam dua belas siang di panas matahari yang terik pula, seorang rekanku kembali nekat berenang. Aku pandangi saja hingga dia menepi. Ketika sosok itu semakin dekat segera kusadari kalau itu Zen, tubuh basahnya melintasiku menuju ke arah warung tempat teman-teman berkumpul.
Di suatu kesempatan Zen yang masih kuyub mendatangiku, ia berdiri tepat di sampingku dan aku menyapanya asal saja.
“Kenapa seperti gelagapan saat berenang tadi, bukannya kamu pinter renang?” Aku hanya melirik Zen sekilas, selebihnya pandangan kutujukan ke speedboat yang masih kelihatan sibuk bongkar muat. Dulu waktu masih kanak-kanak aku dan Zen sering sekali saling tantang untuk pacu berenang di sungai Чªπğ berair keruh, dan pertandingan itu selalu dimenangkan oleh Zen
“Kelelep, dan kena cipratan jet-ski, sehingga tiga kali tertelan air” Jawabnya.
“O….” Aku mencoba memahami.
“Seharusnya kalau ada yang berenang, nggak boleh ada jetski yang melintas, bisa membahayakan.” Zen melanjutkan kata-katanya,
“Begitu ya?” Tanyaku.
“Iya.” Zen menjawab singkat.
berbicara dengan Zen terus-terang sangat tidak mengenakkan, suasananya selalu terasa kaku. Aku kehilangan semangat melanjutkan pembicaraan. Kulayangkan mataku melihat ke arah lainnya, sekedar meredakan rasa tak enak di hatiku, namun ketika aku kembali menoleh, Zen ternyata sudah tak ada di tempatnya tadi berdiri.
"Benar-benar terlalu," bisik hatiku.
Sesaat kemudian aku kembali sibuk mengabadikan beberapa objek yang terlihat bagus. ketika melihat Dani mendekatiku, aku mengajaknya foto bareng.
“Kita foto bersama temen masa kecil yuk, Dan.” Kataku
“ Ayo, mana Zen?” Dani mengedarkan pandangan, aku juga. Di kejauhan kelihatan Zen berdiri sendiri dengan tubuh masih basah kubub, aku nyeletuk sambil mengernyitkan dahi melihat Zen masih bertelanjang dada.
“Tak usah bareng Zen lagi, Dan. Masak kondisi kayak gitu mau difoto, bisa-bisa suamiku salah pengertian nantinya.” Dani tertawa, begitu juga dengan aku, Akhirnya kami memutuskan cuma foto berdua saja.
Dani, aku dan Zen dibesarkan di Kompleks yang sama, kami sudah berteman sejak dari sekolah dasar, hingga SMA dan selalu di sekolah yang sama pula. Zen adalah murid yang pintar, suatu kali dia pernah protes karena dianggap salah oleh guru matematika kami. Zen dengan berani mendatangi sang guru dan menjelaskan apa yang dibuatnya sama sekali tidak salah Cuma rumusnya saja yang beda, tapi hasil tetap sama dan itu tidak salah. Dengan semangat dia menjelaskan logikanya kepada Guru Matematika kami. Akhirnya nilai Zen dirubah menjadi 10 dari nilai 9 pada awalnya. Saat itu Zen terlihat luar biasa di mataku.
Dengan sedikit tipu muslihat teman-teman, akhirnya mereka berhasil menggiringku ke laut, untuk ikut berselancar dengan Banana-jet, dan diceburkan ke air yang terasa asin ketika tertelan. Semua tertawa gembira melihat aku keluar dari air dengan sekujur tubuh basah kuyub. Aku mengalah dan mengundurkan waktu kepulanganku hingga nanti malam. Tak ada harapan untuk bisa melepaskan diri lagi. Aku menelpon rekan kantor, menyatakan tidak mungkin kembali hari ini. Bajuku basah kuyup begitu juga kerudung yang kupakai.
“Ini baru Riska yang dulu, Чªπğ selalu asyik di ajak lomba panco. Kalau yang kemaren? Oh, No..!” Mordan mengancungkan dua jempolnya tinggi-tinggi disambut tawa teman-teman yang ada diwarung. Aku Cuma mencibir.
“Mantaaaap…!” Herry pun jejingkrakan melihat ekspresiku.
"Mau pulang juga ya, bund?"Tanya Rafiq sambil cengengesan.
"Mari silahkan." Lanjutnya. Aku menekuk muka pura-pura marah.
“Ayo, silahkan dijemur bajunya biar kering kalau mau berangkat juga.” Atika ikut-ikutan berseloroh sambil meniup gorengan yang masih mengepulkan asap di tangannya.
“Mari bunda sayang, silahkan cari angin dulu sambil menunggu baju kering.“ Ardan tak mau kalah.
Beragam celetukan teman-teman, diiringi cekikikkan yang lainnya kutanggapi dengan senyum masam. Bahkan ada yang berkata seraya berlagak memberi hormat merunduk dan mempersilahkanku untuk naik ke kapal yang mulai bergerak hendak menuju ke dermaga. Aku kembali membalas dengan senyum yang sengaja dibikin lebih kecut.
Keluar dari warung tak sengaja pandanganku terlayangkan kembali ke pojok dimana Zen tadi berdiri, dan aku memalingkan sekali lagi wajahku ke arah Zen, melihat ada yang ganjil dengan lelaki itu.
Ada apa dengan Zen..?
Mengapa ia seperti terkulai kehilangan daya begitu. Rasa kuatir menyeruak dalam hatiku, tapi berusaha kutepis. Aku mencoba ngobrol dengan beberapa teman hanya sesaat, setelah itu kembali pandanganku tertuju pada sosok Zen yang berada cukup jauh dari tempatku berdiri, dan kali ini aku tak kuat lagi menahan langkah untuk tidak menghampiri. Aku yakin ada yang tak beres.
Ketika sampai Zen terlihat sudah tak sadarkan diri, matanya terkatup. Seorang teman berusaha memberi tekanan pada dada Zen. Jantungku berdetak cepat, apa yang terjadi padamu Zen, Sahabat kecilku. Aku mencoba memberi bantuan dengan memijat kakinya yang dingin. Tapi perasaanku sangat tak enak, aku seolah merasa akan kehilangan dirinya. Berkali-kali diberi nafas bantuan Zen tidak membaik. Aku beruraian air mata mencoba memberi kekuatan pada Zen.
“Jangan pergi temanku, jangan pergi. Ingat anak-anak, Zen. Ingat keluargamu, mereka masih sangat membutuhkanmu.” Bathinku. Air mataku berlelehan. Ketika kondisi Zen tak kunjung membaik, aku mulai panik dan berteriak memanggil teman-teman yang masih ngobrol di warung, sambil hatiku terus berzikir.
“Ya Allah, selamatkan sahabatku.”
Tapi bathinku mengatakan lain, aku seperti telah kehilangan temanku. Tubuh Zen membiru. Dari mulutnya keluar air bercampur buah naga yang tadi pagi dimakan Zen sebelum berangkat. Air keluar ketika dada Zen ditekan berkali-kali, kembali dari mulutnya menyembur Air yang bahkan terciprat membasahi kerudungku. semua bilang Zen sudah bisa bernafas sendiri, tapi aku sangsi. Berkali-kali kugosok tangan dan kaki Zen dengan menggunakan bantuan pasir supaya bisa merangsang syaraf perasanya kembali. Namun kala kupegang pergelangan tangan Zen Чªπğ dingin, aku menggigil dengan hati kecut.
Ya, Allah...! Aku tidak menemukan detaknya.
“Panggil kapal, bawa Zen ke rumah sakit, ini sudah tidak bisa dengan pertolongan pertama lagi.” Kataku setengah meraung.
“Ayo, cepat…!” aku berteriak ketika teman-teman yang berkerumun masih terlihat bengong. Akhirnya Zen digotong dan dibawa dengan speedboat menuju rumah sakit. Kami semua berdoa bersama mengharapkan pertolongan Tuhan, untuk kesembuhan Zen. Tak berapa lama Meri istri Erdis menerima kabar dari rumah sakit, aku diam berusaha mendengarkan, dan ketika Meri mengatupkan mata sembari mengigit bibirnya, Aku tidak bisa menahan gigil di hatiku, airmataku berlelehan. Aku benar-benar telah kehilangan Zen, sahabat masa kecilku yang dua hari ini terlihat begitu aneh sikapnya, setelah dua puluh enam tahun kami tidak bertemu.
Selamat Jalan sahabatku, saudaraku Zen. Pergilah dengan tenang.
Inikah maksud di balik semua sikap teman-teman yang berusaha menahan langkahku untuk tidak pergi. Alam berkehendak agar aku menyaksikan dan ikut mengantar kepergianmu Zen? Samar-samar ingatanku kembali ke masa dua puluh enam tahun yang lalu, ketika Zen pertama kali menyatakan cintanya padaku, di tepi pantai juga di antara suara deburan ombak yang saling berkejaran.
“Jangan katakan aku gila Ris, karena aku mencintaimu.” Ia berkata perlahan dengan senyuman samar terkulum dibibirnya.
Di pantai pula akhirnya engkau ingin aku melepaskan pergimu? Berkelebat kembali ingatanku ketika mengantar kepergian Zen saat dia lulus sebagai salah seorang mahasiswa di ITB. Teluk Bayur ramai ketika itu, siang Чªπğ terik dan hiruk pikuk aktifitas pelabuhan, ditingkahi bunyi mesin kapal yang sekali-kali meniupkan peluit panjangnya, pertanda akan segera diberangkatkan.
“Ris.” Ando menarik tanganku agak menjauh dari kerumunan rekan-rekan yang ikut mengantar keberangkatan Zen.
“Kamu tahu apa yang Zen bilang barusan padaku?” Aku menggeleng dan Ando tersenyum nakal
“Dia bilang, Aku titipkan Riska, wanita yang paling kusayangi di dunia ini padamu, Ando”. Mataku membelalak, sembari meletakkan jemari di mulut. Aku takut dan kuatir apa yang dikatakan Ando didengar juga oleh sahabatku Erlin. Karena aku tahu Erlin sangat mencintai Zen, dan Erlin adalah sahabatku. Aku sayang padanya, buat dia aku ikhlas menghilangkan seorang Zen dari hatiku.
Di atas buritan kapal Zen terlihat kecil, tapi lambaian tangannya masih nampak jelas, dengan bibir terukir senyuman. Senyum khas Zen, dulu aku pernah sangat suka dengan senyum itu, bahkan cukup lama senyuman khas itu hadir menghiasi mimpi-mimpi malamku.
Pergilah Zen….pergilah dengan tenang menuju padaNya… .
Tamat
Pasir Parupuk , 25-04-2011
Bacanya jd sedih.... Kejadian ini jg pernah dialami di kel besar sy.ada satu paman ketika itu suasana lebaran,. Si paman duduk di satu sudut dng posisi menunduk.diajak bercandapun dia hanya tersenyum ala kadarnya.dan ternyata hari raya itu terakhir dua berkumpul dng kami. Mungkinkah itu satu tanda2 ?
BalasHapusBenar ternyata memang ada tanda tanda mau dipanggilNYA itu..cuma orang" sekitarnya sadar kalau sudah gak ada...Waalaupun belum pernah ketemu sama Almarhum tp lewat cerita ini sepertinya pernah bertemu kembali dengan dia...Pengarangnya Nani emang hebat merangkai kata"....Salut dehhh
BalasHapus